Sejak pandemi COVID-19, pesta dalam dunia virtual (VR) semakin digemari. Bagi banyak orang, ini jadi tempat yang aman, inklusif, dan seru untuk mencari teman, pasangan, bahkan cinta, tanpa harus keluar rumah. Namun, di balik keseruannya, pesta VR juga memicu kekhawatiran soal penyalahgunaan narkoba, kecanduan, dan sulitnya mengendalikan diri.
Seorang pekerja IT dari Dublin yang identitas lengkapnya dirahasiakan, mengaku pernah berpesta nonstop selama hampir 12 hari dari apartemennya sendiri. Ia menggunakan headset VR, sensor tubuh, serta berbagai zat seperti ganja, kokain, dan ketamin. Meski awalnya merasa “ajaib”, ia juga mengakui bahwa dunia pesta di VR bisa membuat orang kehilangan kendali.
VRChat, salah satu platform VR paling populer, kini bisa menarik lebih dari 130.000 pengguna sekaligus. Penggunanya berasal dari seluruh dunia, mulai dari Eropa, Asia, hingga Amerika. Mereka masuk ke ruang-ruang pesta virtual, memilih avatar, dan bergabung dalam musik serta tarian sepanjang malam.
Fenomena ini muncul di tengah turunnya jumlah klub malam fisik di AS dan Inggris akibat biaya tinggi, regulasi ketat, dan keuntungan menipis. Di dunia VR, semua bisa dilakukan tanpa batas ruang dan tanpa tiket masuk. Namun, pengguna tetap harus punya perangkat canggih yang bisa menelan biaya hingga belasan juta rupiah.
Di balik kemeriahannya, banyak cerita mencengangkan. Seorang DJ VR asal Berlin bernama Heelix (61 tahun) mengaku telah menghabiskan hampir 5.000 jam di dunia VR. Ia dan pengguna lainnya kadang tak sadar seberapa mabuk mereka sampai headset dilepas. Ada juga pengguna yang perlu dilarikan ke rumah sakit karena overdosis minuman keras saat berpesta virtual.
Namun, bagi sebagian orang, VR raves adalah penyelamat hidup. Seperti Ru, seorang perawat trans dari Ohio, yang merasa lebih aman berpesta di VR daripada di klub nyata. “Di sini saya jauh lebih jarang dilecehkan,” katanya. Ada juga Luna dari Belanda yang dulunya depresi dan tak punya teman, tapi kini punya pasangan dan sahabat berkat pesta VR.
Namun, para ahli memperingatkan bahwa pesta di VR yang digabung dengan obat-obatan bisa menimbulkan kelelahan mental, disorientasi, bahkan pengalaman buruk yang lebih parah daripada di dunia nyata. Belum lagi konten seksual eksplisit yang mulai menyebar melalui avatar dan ruang pribadi di VRChat, yang seharusnya dilarang.
VRChat kini sudah menerapkan verifikasi usia demi mencegah anak-anak masuk ke ruang dewasa. Tim keamanan juga terus menindak laporan pengguna yang melakukan pelecehan atau membuat konten terlarang.
Meskipun banyak pengguna VR yang dianggap “melarikan diri dari kenyataan”, sebagian justru akhirnya bertemu dan membangun komunitas nyata. Beberapa penyelenggara pesta VR bahkan sudah mulai membuat acara musik sungguhan di kota-kota besar seperti New York dan Los Angeles.
Fenomena ini menandai babak baru dalam dunia hiburan dan interaksi sosial. Namun, seperti semua teknologi, VR raves memiliki dua sisi mata uang, bisa menyelamatkan, bisa juga menjerumuskan.