Toronto International Film Festival 2025 menjadi saksi kembalinya Guillermo del Toro dengan karya terbarunya, Frankenstein. Setelah puluhan tahun mencoba mewujudkan proyek ini, sutradara asal Meksiko tersebut akhirnya mempersembahkan film yang menurutnya paling dekat dengan dirinya.
Del Toro menegaskan bahwa Frankenstein bukanlah sekadar film horor. Ia menyebutnya sebagai kisah tentang kemanusiaan, tentang cinta, duka, dan amarah yang bisa hidup berdampingan. Dengan Oscar Isaac sebagai Viktor Frankenstein dan Jacob Elordi sebagai Sang Makhluk, film ini menghadirkan drama gotik penuh emosi yang terasa intim sekaligus megah.
Yang menarik, Del Toro menampilkan makhluk ciptaan Frankenstein bukan hanya sebagai sosok menakutkan, melainkan juga penuh kelembutan. Elordi, yang nyaris tak dikenali karena prostetik rumit, digambarkan layaknya anak kecil yang baru mengenal dunia. Sementara Isaac menghadirkan intensitas penuh amarah dan rasa bersalah sebagai ilmuwan obsesif yang menciptakan sekaligus menolak ciptaannya.
Film ini jelas bukan adaptasi biasa. Del Toro memasukkan detail yang memperdalam relasi ayah-anak antara Viktor dan makhluknya, menjadikan tragedi ini lebih menyayat. Nuansa operatis, desain produksi yang detail, hingga musik Alexandre Desplat membuat film ini terasa seperti “konser gotik tentang kesepian”.
Meski mendapat sambutan beragam dengan skor 81% di Rotten Tomatoes, tak bisa dipungkiri Frankenstein sudah memancing perbincangan besar. Netflix bahkan menyiapkan film ini sebagai salah satu andalan musim penghargaan. Jika menilik jejak Nightmare Alley, ada kemungkinan film ini kembali melaju ke Oscar meskipun penonton terbelah.
Di balik layar, Del Toro juga menunjukkan sisi humanisnya. Ia rutin berkumpul dengan rekan-rekan sutradara setiap Minggu untuk melukis, jauh dari hiruk pikuk industri. Sikap ini menegaskan mengapa ia begitu dicintai sesama sineas dan penonton.
Sebagai sebuah karya, Frankenstein versi Del Toro terasa penting. Ia mengingatkan bahwa “monster” bukan hanya simbol ketakutan, tetapi juga cermin dari rasa sakit dan keinginan untuk dicintai. Film ini bukan sekadar adaptasi Mary Shelley, melainkan refleksi pribadi Del Toro tentang menjadi manusia. Dan mungkin, sama seperti sang makhluk ciptaan, film ini akhirnya akan menemukan cinta yang pantas ia dapatkan.