Meta, perusahaan induk Facebook, Instagram, dan WhatsApp, baru saja meluncurkan jajaran smart glasses terbaru yang ditenagai kecerdasan buatan (AI). Peluncuran ini dilakukan oleh CEO Mark Zuckerberg pada acara tahunan Meta Connect di Silicon Valley.
Kacamata pintar tersebut hadir melalui kolaborasi Meta dengan Ray-Ban dan Oakley. Salah satu produk andalan adalah Meta Ray-Ban Display, yang dilengkapi layar resolusi tinggi berwarna pada salah satu lensa, kamera 12 megapiksel, dan kemampuan untuk melakukan panggilan video atau membaca pesan secara langsung. Selain itu, Meta juga memperkenalkan neural wristband yang memungkinkan pengguna mengontrol perangkat hanya dengan gerakan tangan kecil, termasuk mengirim pesan.
Namun, presentasi Zuckerberg tidak berjalan sempurna. Panggilan WhatsApp ke kacamata gagal terhubung meski diulang beberapa kali. “Saya tidak tahu harus bilang apa. Saya terus saja membuat kesalahan,” ujarnya sambil tertawa, yang membuat suasana acara tetap santai.
Meski ada hambatan teknis, Meta yakin perangkat ini akan menjadi pintu masuk utama bagi integrasi AI dalam kehidupan sehari-hari. Banyak analis percaya kacamata pintar punya peluang sukses lebih besar dibanding proyek Metaverse yang menghabiskan miliaran dolar, karena bentuknya yang ringan dan bisa dipakai sehari-hari.
Harga produk menjadi salah satu sorotan. Meta Ray-Ban Display dijual seharga $799 (sekitar Rp12,8 juta), jauh lebih mahal dari generasi sebelumnya. Ada juga Oakley Meta Vanguard seharga $499 (sekitar Rp8 juta) yang ditujukan untuk penggemar olahraga, serta generasi kedua Ray-Ban Meta seharga $379 (sekitar Rp6 juta). Menurut analis Leo Gebbie, harga yang terlalu tinggi bisa menjadi penghalang adopsi massal, meski ia mengakui model Ray-Ban sebelumnya cukup sukses karena simpel dan terjangkau.
Di sisi lain, Meta sedang berinvestasi besar-besaran untuk memperkuat infrastruktur AI-nya. Zuckerberg sebelumnya mengungkapkan rencana membangun pusat data raksasa di AS, bahkan ada yang hampir sebesar Manhattan. Perusahaan juga merekrut talenta terbaik dari pesaing untuk mengembangkan apa yang mereka sebut sebagai “superintelligence” – AI yang mampu melampaui kemampuan berpikir manusia.
Namun, acara ini dibayangi oleh kontroversi. Di hari yang sama, sejumlah aktivis dan keluarga korban bunuh diri berunjuk rasa di kantor pusat Meta di New York. Mereka menuntut perlindungan lebih bagi anak-anak di media sosial. Dua mantan peneliti Meta juga memberikan kesaksian di Senat AS, menuduh perusahaan menutup-nutupi bukti potensi bahaya produk VR bagi anak-anak. Meta membantah tuduhan tersebut dan menyebutnya “tidak masuk akal”.
Peluncuran ini memperlihatkan ambisi Meta untuk menjadi pemain utama dalam era AI. Jika kacamata pintar ini diterima pasar, kita mungkin sedang menyaksikan awal dari cara baru manusia berinteraksi dengan teknologi – langsung di depan mata.