Review Film Superman 2025: Gagal Total atau Hambar?

Film terbaru Superman garapan James Gunn ternyata jauh dari harapan. Alih-alih menghadirkan angin segar bagi pahlawan legendaris ini, film justru terasa kosong, berat, dan kehilangan arah. David Corenswet yang memerankan Superman tampil dengan ekspresi datar dan minim jiwa, membuat penonton sulit merasa terhubung dengan sang Man of Steel.

Alih-alih membawa nuansa baru yang menyenangkan seperti yang ditunjukkan Gunn saat menangani Guardians of the Galaxy, film ini malah dibebani narasi yang rumit dan tidak perlu. Cerita dibuka dengan deretan tulisan pengantar yang membingungkan, membuat penonton merasa bosan bahkan sebelum adegan aksi dimulai.

Superman versi baru ini ditampilkan sedang menangani konflik antara dua negara fiksi: Boravia dan Jarhanpur yang seolah-olah terinspirasi dari konflik Rusia dan Ukraina, namun dikemas terlalu “aman” untuk menghindari kritik politis. Di sinilah Superman mengalami kekalahan yang memalukan dari sesosok “metahuman” dan kembali tenggelam dalam krisis percaya diri yang tidak menarik untuk disimak.

Nicholas Hoult berperan sebagai Lex Luthor, musuh utama Superman yang licik dan manipulatif. Namun, bahkan kehadirannya tak mampu menyelamatkan cerita yang kacau ini. Hubungan Clark Kent dan Lois Lane (diperankan Rachel Brosnahan) pun tak memberi dampak emosional kuat, malah terasa seperti parodi dari serial Friends. Beberapa karakter lain seperti Jimmy Olsen dan Perry White juga kurang dieksplorasi, sementara Green Lantern versi Nathan Fillion hanya berfungsi sebagai selingan humor.

Puncaknya, film kembali ditutup dengan adegan kehancuran kota besar ala CGI yang sudah terlalu sering dipakai di genre superhero. Efek visualnya memang megah, tapi kehilangan makna karena terasa seperti pengulangan dari film-film sebelumnya.

Superman versi James Gunn ini sebagai simbol kelelahan industri terhadap formula superhero yang tak kunjung berkembang. Bukannya merevolusi atau menyegarkan genre ini, film justru tenggelam dalam beban warisan sinematik masa lalu yang belum terselesaikan. Ketika reboot gagal menjawab pertanyaan dasar: “Mengapa karakter ini penting untuk diceritakan ulang sekarang?”, maka hasil akhirnya akan seperti datar, penuh kebisingan visual, namun tanpa makna emosional.

Ada kesan bahwa film ini dibuat bukan karena ada cerita yang harus diceritakan, melainkan karena ada waralaba yang harus dijaga eksistensinya. Sebuah ironi, mengingat Superman dulu hadir untuk memberi harapan. Kini ia justru terlihat bingung akan perannya sendiri.