The antusiasme gamer kembali memuncak setelah kemunculan The God Slayer, sebuah game roleplaying open world terbaru yang dikembangkan untuk PlayStation 5 dan PC. Meskipun bukan adaptasi resmi dari Avatar: The Last Airbender, banyak penggemar menilai game ini sebagai jawaban dari penantian panjang terhadap RPG bertema pengendalian elemen yang selama dua dekade belum pernah benar-benar berhasil dibawa ke dunia video game.

Avatar: The Last Airbender, serial animasi legendaris Nickelodeon, telah memiliki basis penggemar yang kuat sejak pertama kali tayang dua puluh tahun lalu. Dengan dunia kaya lore dan karakter yang mampu mengendalikan unsur alam, konsep tersebut dianggap sangat potensial untuk diadaptasi menjadi game AAA. Beragam upaya telah dilakukan, tetapi belum ada satu pun yang mampu memenuhi ekspektasi publik. The God Slayer kini muncul sebagai kandidat yang paling mendekati harapan itu.

Meski tidak terkait secara resmi, kemiripan The God Slayer dengan Avatar terlihat jelas sejak detik pertama cuplikan gameplay diputar. Tokoh utamanya, yang disebut sebagai Elemancer, mampu mengendalikan api, air, tanah, dan udara. Perpindahan elemennya berlangsung halus dan eksplosif, mirip dengan gaya bertarung Aang atau Korra. Bahkan, beberapa adegan menunjukkan bagaimana sang protagonis memanipulasi lingkungan sekitar, seperti menarik air dari menara demi memperlancar serangan yang menghanyutkan musuh.

Pendekatan ini semakin terasa autentik lewat gerakan seni bela diri yang tampak terinspirasi dari Tai Chi dan Kung Fu, dua elemen penting yang juga menjadi dasar animasi Avatar. Sementara itu, latar kota metropolitan bergaya steampunk memberikan nuansa industrial yang mengingatkan penggemar pada dunia The Legend of Korra.

Selain bayangan Avatar, The God Slayer juga memperlihatkan beberapa sentuhan dari game populer lain. Adegan berlari di atas atap kota mengingatkan pada Assassin’s Creed, sementara dialog dan aksi cepat bergaya sinematik memberi kesan ala Uncharted. Estetika dunia fantasi dan konsep dewa yang menjadi fokus cerita membuatnya terasa serupa dengan Black Myth: Wukong. Tak heran jika kolom komentar di YouTube dipenuhi candaan seperti “inFAMOUS Creed: The Last Airbender” dan “There is no war in Ba Sing Se ahh game.”

Cuplikan gameplay memperlihatkan bagaimana kekuatan elemen dapat dikombinasikan untuk menghasilkan serangan unik. Misalnya, Elemancer membekukan musuh lalu menunggangi batu besar untuk menghancurkan es tersebut. Namun dari semua unsur yang ditampilkan, elemen api terlihat paling dominan, sehingga karakter ini tampak seperti Avatar dari negeri api.

Hingga kini belum ada jadwal rilis resmi untuk The God Slayer. Meski demikian, apa yang ditampilkan developer Pathea Games sudah cukup untuk memunculkan gelombang antusiasme. Pathea sebelumnya dikenal lewat My Time At Portia, game simulasi yang mendapat sambutan positif. Namun The God Slayer jelas hadir dengan skala dan ambisi lebih besar, termasuk voice acting yang masih terdengar kaku serta kompleksitas sistem yang jauh melampaui proyek sebelumnya.

Optimisme tetap mengemuka, meskipun sebagian pengamat memilih berhati-hati. Daya tarik Avatar tidak hanya terletak pada aksi pengendalian elemen, tetapi juga pada kedalaman konflik, politik, dan perkembangan hubungan antarkarakter. Sampai sejauh ini, The God Slayer baru menampilkan kekuatan dan visual memukau tanpa memperlihatkan kedalaman cerita yang menjadi inti dunia Avatar.

Meski begitu, banyak penggemar berharap kali ini usaha tersebut membuahkan hasil. The God Slayer mungkin belum memberikan semua jawaban, tetapi ia telah menghadirkan secercah harapan bagi mereka yang merindukan RPG ala Avatar yang benar-benar memuaskan. Jika pengembang mampu menyempurnakan aspek cerita dan karakter, game ini berpotensi menjadi salah satu judul paling menarik saat dirilis nanti.